The Unknown: Single Woman


Proyek bersama antara gue, Farah, Anind. Harusnya sih lanjut dari 3 atau 4 bulan yang lalu gitu. Tapi nyangkut di gue. Hihihi.. :mrgreen: Sila disimak kelanjutannya ya. 😉

The Unknown: Penentuan

The Unknown: Hari Pertama

The Unknown: The Fashionable One

The Unknown: Who is she?

 

Nania masih penasaran dengan Bu Lily. Seseorang di kantor, yang menegurnya hanya karena penampilannya saja.

“Bu Lily itu sebenarnya di bagian apa sih, Mbak?” tanya Nania ke Anis, rekan sekubikalnya.

“Oh itu. Dia HRD, bagian Talent and Learning Development.”

Talent and Learning Development itu salah satu bagian yang menilai kinerja kita juga bukan?”

“Iya. Makanya kamu tunjukin aja performance kerjaan kamu. Tapi ya kalau kamu mau mengikuti nasehatnya untuk mengubah penampilan kamu silakan saja. Senyaman kamu.”

“Baik, Mbak. Terima kasih masukannya.”

“Yuk kita ke kantin. Kita lanjut obrolannya di kantin. Sekalian nanti ku kenalin ke yang lainnya, yang beda divisi dari kita.” Ajak Anis.

 

***

 

Sesampainya di kantin, mereka langsung menuju ke salah satu meja yang masih bisa ditempati. Anis mengenalkan Nania ke beberapa orang dari divisi lain.

Guys, kenalkan, ini Nania, anak baru di divisi gue.”

“Hai, Nania! Gue Indra, yang sebelah gue ini Robby. Kita dari divisi ITC. Jadi kalo lo bermasalah sama komputer atau lupa password komputer lo, lo hubungin kita aja.” Indra mengenalkan dirinya dan Robby ke Nania.

“Gue Anggi, resepsionis di 52.”

“Gue Maya, resepsionis di 55.”

“Tempat angker. Tempatnya para big boss tuh. Hahahahaha.” Robby menimpali perkenalan Maya.

“Hush! hati-hati lo kalo ngomong. Nanti ada yang lewat aja. Apa perlu gue laporin? Hahahaha.” Maya membalas perkataan Robby.

“Udah ah, ribut aja lo berdua!” Anis menengahi mereka.

“Gue Leoni, sekretaris TLD.”

“Oh, mbak Leoni di TLD?” Nania terlihat sedikit terkejut.

“Iya, memangnya kenapa?”

“Eng,, ga kok mbak. ”

‘Pantas saja penampilannya begitu cantik. Padu padan pakaiannya begitu serasi. Begitu juga dengan make-up di wajahnya. Sepatunya pun lucu. Serasi dengan semuanya.’ Nania memperhatikan penampilan Leoni dari ujung kepala hingga mata kaki.

“Biasa, baru masuk dia udah kena sama si bos itu.” Anis yang menanggapinya.

“Bos?” Anggi dan Maya saling melirik.

“Oh, gue tau!” Robby langsung teriak.

“Lo apaan deh teriak gitu? Kebiasaan!” Maya langsung memasang ancang-ancang untuk memulai ribut. Maya dan Robby itu seperti anjing dan kucing. Selalu berselisih pendapat. Ada aja hal yang membuat mereka ribut. Namun dibalik itu, mereka sebenarnya bersahabat sejak kecil. Bahkan bertetangga. Mungkin memang jodohnya, mereka selalu bersama-sama sejak kecil. Bahkan sampai akhirnya mereka pun sekantor.

“Maaf deh. Kayaknya gue tau siapa yang Anis maksud.” Robby langsung mengecilkan volume suaranya.

“Siapa?”

“Itu tuh, si Single Woman. Perempuan sukses di TLD, namun hingga sekarang masih setia dengan kesendiriannya. Jadinya setiap ada anak baru, khususnya kalau anak baru itu perempuan, pasti kena deh sama dia.” Robby menjelaskan dengan volume kecil. Ia khawatir kalau tiba-tiba Single Woman itu lewat.

“Oh, Single Woman itu.” Maya dan Anggi langsung mengangguk. Mereka terbayang ketika awal masuk kerja. Mereka berdua pun pernah kena oleh Single Woman itu.

 

Tukang Bakso


Waktu menunjukan pukul sebelas lebih tiga puluh, perkuliahan masih dimulai satu jam lagi. Seperti biasa, anak-anak jip berkumpul di gelap saat menunggu waktu kuliah atau hanya sekedar berkumpul saja. Gedung delapan atau yang biasa disebut gelap sama anak-anak jip itu memang tempat berkumpulnya mereka. Anak FIB yang lain sudah hafal kalau mau mencari mereka, mereka tinggal pergi ke gelap. Hampir semua angkatan berkumpul disana. Dari depan, lorong, hingga depan perpustakaan jip di lantai dua.

Siang itu Rendra, Lukman, Dika, Fani baru saja keluar kelas. Mereka duduk-duduk di depan gelap. Di dalam gelap sedang ramai, sehingga mereka memutuskan duduk-duduk di depan saja yang lebih sepi. Memang biasanya gelap selalu ramai dengan anak-anak jip terutama ketika waktu makan siang.

 

“Man, lo udah ngerjain tugas PK belum?”

“Hah? PK? Petang Kreatif?” Lukman mengingat2 nama mata kuliah mereka. Maklum semester baru, dia belum familiar dengan singkatan nama mata kuliah.

“Pengantar Kearsipan, Man. Bukan Petang Kreatif. ” Fani yang biasa sekelompok dengan Lukman geleng-geleng kepala. Kebiasaan banget emang si Lukman ini. Kalau teman-temannya tidak ada yang mengingatkan, dia pasti lupa. Fani saja harus selalu mengingatkan.

“Oh, iya deng. Hehehe. Maaf ya teman-teman. Gue lupa. Udah selesai kok. Nanti gue email lo ya, Fan.”

“Oke!”

 

Mereka melanjutkan obrolan lainnya sambil makan. Mereka memang terbiasa untuk makan bersama-sama di gelap. Selain untuk lebih mengakrabkan mereka, biasanya di Kansas atau kantin sastra penuh pada saat jam makan siang. Sehingga mereka lebih nyaman makan di gelap.

 

“Ren! Tukang bakso, Ren.” Lukman memanggil Rendra dengan heboh.

“Mana Man? Mana?” Rendra celingak-celinguk mencari pemandangan yang dimaksud Lukman.

“Itu Ren! Liat arah jam 12!” Lukman sibuk menunjuk yang dimaksud dengan diam-diam.

Anak-anak yang disekitar mereka, yang tadinya pada sibuk mengobrol sendiri otomatis terdiam dan mencari apa yang ditunjuk Lukman.

“Eh, bener Man. Itu dia!”

“Tukang bakso?! Ya kali dah di FIB ada tukang bakso lewat. Hari ini lagi ga ada bazar, Man. Hahahaha.” Dika menertawakan Lukman. Dia heran dengan pembicaraan Lukman dan Rendra.

“Bukan tukang bakso beneran, Dik. Tukang bakso yang satu ini beda.”

“Iya, Dik. Beda! Cantik, pake banget!” Kali ini Rendra menimpali. Dia memang sudah terpesona dengan kecantikan perempuan yang satu itu.

“Mana ada tukang bakso cantik.” Dika masih tidak percaya.

“Tau nih. Kalian ada-ada aja deh.” Fani yang daritadi diam saja mendengarkan pembicaraan kali ini ikut berbicara.

Rendra dan Lukman saling berpandangan. Mereka sendiri bingung bagaimana menjelaskannya. Orang yang dimaksudpun sudah lewat.

 

“Eh, itu dia. Dia lewat lagi tuh. Lagi jalan ke arah sini dari teater daun.” Lukman kembali menunjuk orang yang dimaksud, dengan diam-diam tentu saja.

“Oh itu, itu sih gue kenal.” Fani yang aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa FIB memang banyak mengenal anak-anak dari jurusan lain.

“Serius, Fan?” Rendra menanggapi dengan antusias.

“Iya, dia anak Belanda kan?”

“Iya.”

“Dia tuh pacarnya teman les gue. Pacarnya anak Jawa. Lihat tuh. Cowok yang dibelakangnya. Itu pacarnya dia. Kayaknya dia abis nyusulin pacarnya di perpus pusat deh.” Fani menjawab sambil menunjuk seseorang di belakang perempuan yang dimaksud itu.

“Tanteeee.. Oooomm..” Fani menegur kedua orang itu. Dia memang kebiasaan memanggil Rachel dan Kimmy dengan sebutan Tante dan Om. Di kelas tempat dia les bahasa Inggris, nama Kimmy ada dua, yang satu perempuan, yang satu laki-laki, jadi karena Kimmy yang laki-laki penampilannya lebih dewasa dan cenderung cool dia dipanggil Om, sedangkan Kimmy yang perempuan tetap dipanggil Kimmy.

“Hai Fan!” Keduanya menyahut sapaan Fani sambil tersenyum.

“Udah selesai kelas Fan?” Rachel bertanya sambil melontarkan senyumnya yang manis itu. Rachel memang sangat cantik, terutama hari ini. Rachel memakai dress biru muda, sepatu wedges berwarna senada, serta make-up minimalis. Rachel pernah menjadi paskibraka dan pernah menjadi pembaca protokoler di Istana Negara. Rachel tinggi, cantik, putih, pintar, ramah senyuman pula. Semua pria pasti jatuh hati. Fani saja yang sesama perempuan mengaguminya. Betapa beruntungnya si Om, pikir Fani.

“Udah, Tan. Tante sama Om darimana?”

“Dari perpus pusat. Tadi gue baru selesai ngerjain tugas, Rachel nyamperin gue.” Kali ini Kimmy yang menjawab.

Sementara itu Rendra, Lukman, dan Dika hanya diam saja memperhatikan pembicaraan mereka.

“Yaaaaaahhh. Udah punya pacar.” Sahut Rendra dan Lukman secara kompak ketika kedua orang itu sudah lewat.

“Hahahahahahahaha. Sabar yak! Tukang Baksonya udah ada majikan yang jagain tuh.” Dika yang daritadi hanya sebagai penonton menertawakan Rendra dan Lukman yang patah hati.

Selamat Jalan, Kawan


Agustus 2007

“Cha, lo dimana? Kok ga dateng sih?”

“Cha, kok lo ga dateng reuni di rumah Bejo sih?”

“Cha, buruan deh lo nyusul kesini!”

Seharian ituhandphonepenuh dengan sms kawan-kawan SD. Hari itu ada reuni SD di rumah Bejo. Tapi aku memang tidak bisa hadir. Aku sedang mempersiapkan pernikahanku yang tinggal sebulan lagi. Sebenarnya aku sangat rindu dengan mereka, namun apa boleh buat, aku ada acara lain untuk mempersiapkan pernikahanku sehingga aku tidak bisa hadir bertemu dengan kawan-kawan semua. Hari itu bahkan kawan-kawanku menelpon dari rumahnnya Bejo. Mereka masih mengharapkan kehadiranku disana. Akhirnya aku hanya bisa mengundang mereka untuk hadir di pernikahanku, bulan depan.

***

September 2007

“Ah Ichaaa…Ga nyangka lo nikah duluan. Selamat ya Cha! Semoga langgeng, jadi keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah”

Hari itu aku hadir ke pernikahan Icha, kawan SD-ku, kawan sepermainan dulu. Tidak menyangka disaat teman-teman yang lain sedang sibuk daftar ulang untuk masuk kuliah, Icha telah memantapkan hati untuk menyempurnakan setengah agama, yaitu menikah. Hari itu ia sangat cantik. Sejak dulu ia memang cantik, namun ia jauh lebih cantik di hari pernikahannya.

Alhamdulillah beberapa kawan SD-ku menghadiri pernikahanku. Senang rasanya dapat berbagi kebahagiaan dengan kawan-kawan masa kecil, kawan-kawan sepermainan. Bahagia dapat sedikit bernostalgia walau hanya sejenak.

***

2008

“Selamat ya Cha udah punya anak! Semoga menjadi anak yang Sholihah. Amin!”

Hari itu, beberapa hari setelah Aisyah lahir, kawan-kawan SD menjenguk. Ah, senangnya mempunyai kawan lama yang masih perhatian. Mereka menjenguk ponakan pertama mereka dariku. Alhamdulillah, terima kasih ya ALLAH aku telah diberikan kawan-kawan seperti mereka.

***

2009

“Ah Ichaaaaa… Udah punya anak lagi aja! Selamat ya Cha!”

Kawan SD-ku ini telah melahirkan anak keduanya. Asiyah, puteri keduanya ini hanya berjarak setahun dengan puteri pertamanya. Tidak terbayang di benakku yang masih kuliah ini bagaimana dia mengurus kedua buah hatinya. Aku kagum padanya ketika melihat ia mengurus sendiri kedua buah hatinya.

Hari itu dia datang ke acara reuni SD. Dia datang hanya berdua dengan suaminya, anak-anak tidak diikutsertakan. Dia terlihat bahagia bersama suaminya. Tapi sayang, dia hanya datang sebentar. Tidak tega meninggalkan anak-anak terlalu lama katanya.

***

Juni 2011

“Ichaaaa.. Selamat Ulang Tahun! Lo lagi hamil anak ketiga ya? Wah senangnya!”

“Wah! Aisyah dan Asiyah mau punya adik lagi! Semoga lancar sampai persalinan ya.”

Kawan-kawan menanyakan kabar gembira itu. Ya, sedang ada janin yang tumbuh di dalam rahim ini, calon adik untuk Aisyah dan Asiyah. Aku belum tau jenis kelaminnya apa. Aku berharap laki-laki. Karena keluargaku semuanya perempuan, kecuali ayahku tentunya. Aku ingin memberikan penerus laki-laki untuk beliau. Namun, apapun jenis kelamin anakku kelak, yang terpenting adalah sehat. Aku memasrahkan semuanya kepada Allah.

***

Desember 2011

Aku senang mendapatkan kabar gembira bahwa Icha sudah melahirkan anak ketiganya. Alhamdulillah anaknya laki-laki. Sesuai dengan harapannya Icha dan keluarganya. Akhirnya ada anak laki-laki di rumah itu. Maklum, Icha dan adik-adiknya perempuan semua. Betapa bahagianya wajahnya Icha saat itu. Dia sudah masuk rumah sakit duluan sebelum melahirkan. Dia muntah darah, sampai harus ditransfusi darah. Dua hari setelah masuk rumah sakit, ia melahirkan. Bayi laki-lakinya itu lahir pada hari Jumat, sekitar setengah satu siang, tidak lama setelah Shalat Jumat. Hari Jumat itu hari yang bagus, katanya. Semoga Annas dapat menjadi anak yang sholeh dan dapat menjaga kakak-kakaknya.

Hari itu kawan-kawan SD-ku menjenguk Annas dan aku di rumah. Mereka mampir sesudah datang ke acara di SD. Beberapa dari mereka sebenarnya telah menjenguk, tapi mereka mengantarkan beberapa orang lainnya. Alhasil jadilah semacam reuni kecil di rumahku. Aisyah dan Asiyah berusaha mencari perhatian om-om dan tante-tante yang datang ke rumah. Lucunya anak-anakku itu. Kawan-kawanku ketika SD sangat baik, mereka tetap menjalin silaturahmi. Ketika ada yang sakit atau berduka, mereka juga tetap memberikan perhatian. Bersyukur mempunyai kawan-kawan lama seperti mereka.

***

Maret 2012

“Cha, lo kenapa?”

“Cha, lo di rumah sakit? Sakit apa?”

Bbm dariku tidak dibalas olehnya. Aku semakin khawatir dengan keadaannya. Aku hubungi kawan-kawan lainnya. Ternyata benar, Icha masuk rumah sakit. Sudah hampir dua minggu lebih ia dirawat di rumah sakit. Sakit keras. Diagnosa awal dokter ada tumor di lambungnya. Namun, kenyataannya bukan. Icha sudah terkena kanker lambung. Suaminya bilang Icha butuh dukungan secara psikologis. Tidak hanya dari keluarga, namun juga kawan-kawannya.

“Cha, lo harus sembuh!”

“Lo pasti sembuh, Cha!”

“Ayo Icha semangat! Lo pasti bisa lewatin ini!”

Kami bergantian menjenguknya. Bergantian memberikannya semangat. Walaupun berusaha menahan air mata dan raut muka kesedihan ketika menjenguknya. Senyum tetap melekat erat pada wajah kami. Kami tidak ingin membuatnya sedih.

“Gue mau pulang ke rumah. Gue mau ketemu sama anak-anak gue.” Kalimat itu terdengar lirih diucapkan oleh Icha. Kami hanya bisa tersenyum.

“Lo pasti segera pulang dan ketemu sama anak-anak lo, Cha.”

***

April 2012

Kabar malam itu begitu mengejutkan kami semua. Kami tidak menyangka kawan baik kami pergi secepat itu. Tadi siang ia terlihat sudah lebih membaik ketika kami menjenguknya. Bahkan sejam sebelumnya ia masih dapat membuka twitter. Kami semua sedih, kami semua merasa kehilangannya. Kehilangan sosok kawan yang baik, sholehah, rendah hati, serta dewasa.

Kami segera ke rumahnya. Ia tetap seperti yang biasanya, terlihat tenang, hanya saja terlihat lebih pucat dan kurus. Ibunya selalu mendampinginya hingga akhirnya ia dimandikan dan dimakamkan. Kawan-kawan dan sahabat-sahabatnya turut hadir. Twitter ramai. Kami kehilangan sosoknya. Kami tidak menyangka ia tidak akan dapat melihat anak-anaknya tumbuh dewasa, melihat anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholehah.

Selamat jalan kawan.

Engkau telah mendapatkan tempat terbaik disisiNya. Kebaikanmu, kedewasaanmu, akan selalu ada dalam ingatan kami semua. Suatu saat akan kami ceritakan mengenai itu semua kepada anak-anakmu. Agar mereka bangga akan Ummi-nya.

 

Cerita ini sebagian besar terinspirasi dari beberapa kejadian antara Icha dan kami, teman SD-nya. Tidak sepenuhnya berdasarkan kisah sebenarnya, hanya terinspirasi dari kejadian nyata.

Selamat jalan Annisa Rahadea Ayuningrum. Selamat jalan kawan SD. Engkau istri yang sholihah bagi Alvin, suamimu. Engkau ibu yang sempurna bagi Aisyah, Asiyah, dan Annas. Engkau anak yang sholihah bagi kedua orang tuamu. Engkau kakak yang baik bagi adik-adikmu. Engkau sahabat dan kawan yang baik bagi kami semua. Engkau telah memberikan contoh dan teladan yang baik bagi kami semua. ALLAH sangat menyayangimu, sehingga engkau dipanggil terlebih dahulu. Semoga ALLAH menempatkanmu di tempat yang terbaik di sisiNya. Semoga semua amal ibadahmu diterima oleh ALLAH SWT.

Kami semua kehilanganmu, Cha. Kami semua menyayangimu. Sampai berjumpa kembali di surgaNya kelak. Aaaaaaamiin! 🙂

Aisyah, Annas, Asiyah (Icha's children)